Wednesday, May 28, 2014

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Lama tidak merilis sebuah novel, membuat saya beranggapan bahwa Eka Kurniawan sedang berada di dalam suatu proses penelitian. Tentu, sebagai salah satu penggemarnya, saya juga menaruh harapan besar terhadap hasil penelitian itu. Sampai suatu ketika saya menemukan berita bahwa Eka akan merilis novel terbarunya. Sumpah, saya kegirangan.

       
      Oke... judulnya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Saya sempat mengira bahwa isi dari novel ini tidak akan jauh-jauh dari masalah percintaan remaja. Judulnya saja seperti itu. Apalagi ditambah dengan cover bergambar burung yang cute abis. Ah.... Tapi, ketika saya membuka halaman depan dan menemukan kalimat pembuka: "Hanya orang yang gak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati". Oh, God, rasanya seperti melihat pertandingan bola dimana tim kesayangan kita membuat gol pada detik pertama. Kalimat pembuka yang, harus saya bilang, keren. Dari kalimat tersebut, kita langsung diberi gambaran tentang inti permasalahan di dalam novel itu. Yaitu: kontol yang nggak bisa ngaceng. Dari kalimat tersebut pula, secara otomatis pembaca akan langsung terikat dan muncul rasa keinginan untuk terus membaca kelanjutannya. Dan... kalimat pembuka tersebut sangat berkesan dan terus melayang di pikiran. Kuat.

      Saya membayangkan, menikmati novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sama rasanya seperti kita menikmati kacang saat bersantai. Tak bisa berhenti, meski yang dinikmati berporsi mini. Justru karena porsi mini-nya itu yang membikin ketagihan. Isi dari novel ini merupakan potongan-potongan kecil yang disusun acak, tapi dengan perhitungan yang sangat matang. Mungkin, bila novel ini disusun dengan plot yang klise, tidak akan ada kesan buat pembaca karena suasana yang dibawakan begitu flat. Namun, dengan pengacakan dan alur yang saling bertumpukan yang dilakukan oleh Eka, pembaca seperti dibawa menyusuri pegunungan, dengan puncak yang hampir selalu berada di akhir bab. 

      Adalah Ajo Kawir, seorang yang menderita impotensi sejak kecil karena terlibat di dalam suatu peristiwa mencengangkan di tengah malam atas ajakan sahabatnya, Si Tokek. Karena merasa bersalah dan harus bertanggung jawab, Si Tokek melakukan segala cara untuk membangkitkan burung Ajo Kawir. Termasuk meminta bantuan ayahnya, Iwan Angsa. Namun, semuanya gagal. Burung Ajo Kawir tetap terlelap indah. Ajo Kawir pun tumbuh sebagai seorang jagoan, tukang berkelahi di sana-sini. Karena hobinya inilah, ia akhirnya bertemu dengan Iteung, lawan berkelahinya yang kelak dijadikannya istri. Iteung rela menjadi suami Ajo Kawir, meski ia tahu bahwa Ajo Kawir tidak bisa ngaceng. Nah, masalah muncul ketika Ajo Kawir mendapati si Iteung hamil. Dan dimulailah perjalanan Ajo Kawir yang karena kemarahannya, ia masuk ke dalam penjara, lalu keluar dan bekerja sebagai supir truk, dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya dengan rupa yang berbeda.
     
     Bisa dibilang, semua tokoh di dalam novel ini memiliki peranan penting, meski ada yang hanya muncul sekilas-dua kilas. Misal: pelacur yang diminta Iwan Angsa untuk membangunkan kontol Ajo Kawir. Ia semakin menegaskan bahwa masalah ke-ngaceng-an Ajo Kawir merupakan masalah serius. Atau Si Macan yang dibunuh Ajo Kawir meski ia sudah tak berdaya. Pembunuhan itu membuat Ajo Kawir dipenjara dan keluar dalam wujud yang lebih tenang dan bijaksana. Seolah, hukum sebab-akibat rasanya begitu kental di novel ini. Eka, sekali lagi, memperhitungkan betul apa yang ditulisnya. Saya kira, waktu tiga tahun (2011-2014) yang dihabiskan Eka untuk menuliskan novel setebal 252 halaman ini terbayarkan sudah.

     Saya pribadi tidak begitu mempermasalahkan bahasa yang digunaan oleh Eka. Barangkali, bagi sebagian orang, ketika membaca Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas akan menggeliat sesekali karena ke-vulgar-annya. Namun, kembali lagi ke logika cerita. Ajo Kawir dan kebanyakan tokoh merupakan tokoh yang liar. Saya rasa memang pantas bahasa yang vulgar tersebut digunakan oleh orang-orang macam Ajo Kawir, Si Kumbang dan semua tokoh di dalam novel ini.

     Latar di dalam novel, yang saya tangkap setelah saya membacanya, merupakan lingkungan kaum urban. Pinggiran. Tentu, bahasa mana lagi yang cocok digunakan kaum urban selain bahasa vulgar seperti itu? Dan semua kejadian di dalam novel, yang kebanyakan isinya cuma seks, berkelahi, seks lagi, berkelahi lagi, memang berhasil menggambarkan lingkungan pinggiran tersebut.

     Ah, setelah membaca novel tipis ini, seakan semua rindu, dendam, dan segala rasa yang muncul saat menanti karya Eka selama sepuluh tahun, dibayar tuntas sudah. Puas.