Ah...
kenapa selalu teknologi?
Aku
selalu membenci teknologi. Bukan karena imbasnya ke anak muda zaman sekarang,
ataupun karena dosen pengampunya *eh. Tapi lebih karena aku adalah orang yang gaptek.
Oke... jujur, aku baru mengenal handphone disaat aku menginjak kelas lima SD. Itupun karena ayahku menemukan barang aneh yang bisa menyala itu saat memancing di pelabuhan bersamaku. Sebelum itu, sering sih aku mendengar istilah ‘hape’ dari teman-teman sekelas yang tajir. Tapi, dulu kukira hape itu adalah sebuah mainan berupa ayunan atau mobil remote control. Haha.
Oke... jujur, aku baru mengenal handphone disaat aku menginjak kelas lima SD. Itupun karena ayahku menemukan barang aneh yang bisa menyala itu saat memancing di pelabuhan bersamaku. Sebelum itu, sering sih aku mendengar istilah ‘hape’ dari teman-teman sekelas yang tajir. Tapi, dulu kukira hape itu adalah sebuah mainan berupa ayunan atau mobil remote control. Haha.
Jujur pula, aku baru menyentuh yang
namanya komputer di kelas tujuh SMP. Memalukan, kan? Rasanya seperti akan
bertemu monster bertangan enam berwarna hijau kekuningan dan berlendir setiap
kali akan ada jam pelajaran TIK kala itu. Mouse tak ubahnya menjadi tikus
penggigit jari tangan yang selalu membuat jemariku gemetaran. Nilai TIK di
rapor kelas tujuh SMP saat itupun hanya mencapai 65, hiks.
Seumur hidupku, sudah tak terhitung
berapa kali komputerku eror gara-gara aku yang sok tau dan asal pencet tombol
ini itu. Dell, komputer pertamaku yang masih menggunakan CPU tidur
(horizontal), kini berada di suatu tempat di dalam gudang sana. Tertidur di dalam
kegelapan bersama tikus-tikus dan seekor tokek yang sangat berisik. Harus aku
akui, nasib Dell-ku yang malang itu memang karena ulahku. Sudah tak terhitung
pula berapa kali sudah aku bolak-balik ke counter dan meminta tolong ke
mbak-mbak penunggu counter untuk membetulkan hape-ku yang suka eror. Oke... itu
juga salahku yang sok tau.
Bagaimana? Aku gaptek banget, kan?
Tapi... namanya juga manusia. Aku
juga punya naluri, terutama naluri untuk berkembang *ciee. Disaat menginjak
bangku kelas sembilan SMP, aku mulai berpikir. Akhirnya, setelah berpikir, aku
mulai mendekati teman-temanku yang suka online dan ahli IT dan mengakrabkan
diri dengan mereka. Perlahan, aku mulai mencuri ilmu dari mereka, terutama ilmu
tentang dunia IT. Aku pun mulai memberanikan diri ke warnet sendiri, main game
sendiri, bikin akun Faceb*ook sendiri. Dan yang lebih mengagetkan lagi, aku
bisa!
Ya, aku menarik kesimpulan pada
akhirnya. Bahwa bila ingin pintar akan teknologi, kuncinya ada dua. Yaitu
belajar berbahasa Inggris dari guru dan belajar komputer dan pengoprasiannya
dari anak-anak online.
Seperti halnya diriku yang masih dan
selalu berkembang, teknologi pun juga demikian. Hape pertama ayahku, yang
ditemukan saat memancing itu, adalah hape Nok*ia berlayar hitam putih dan tahan
banting. Saat itu, benda semacam itu mungkin telah menjadi barang yang sangat
mewah oleh beberapa kalangan. Namun bila dibandingkan dengan zaman sekarang,
hape itu tak ubahnya menjadi sampah, atau paling mentok ya buat ganjal pintu
yang engselnya sudah rusak.
Lha... ini menjadi bukti bahwa
teknologi semakin berkembang dari masa ke masa. Aku jadi ingat ketika pertama
kali melihat tablet di teve dulu ketika aku masih SMA. Kupikir kala itu, tablet
pasti harganya lebih mahal ketimbang motor baru kakak yang warnanya hitam itu.
Eh, ternyata sekarang, pengguna tablet bisa kita temukan di mana-mana karena
saking murahnya. Bahkan, kata seseorang yang sangat kaya di luar sana (saya
lupa namanya): “Tablet akan punah di tahun 2020”. I just can say WOW!
Semua hal tentang teknologi ini
membuatku berimajinasi, kira-kira di masa depan ketika aku sudah punya istri
dan anak (amin), akan ada benda aneh apa lagi ya?
Yang paling jelas di dalam pikiranku: kelak, akan ada sebuah teknologi dimana kita bisa melakukan banyak hal dengan bantuan sebuah bulatan kecil terbuat dari logam yang menempel di kepala kita. Bulatan itu dapat membaca pikiran kita dan memvisualisasikan apa saja yang kita bayangkan. Misalnya: aku membanyangkan di depanku terparkir satu unit Lamborghini Aventador berwarna merah hati lengkap dengan cewek Jepang seksi tengah duduk di dalamnya. Maka, komputer kecil itu akan langsung memvisualisasikan hal itu dan membuat mata kita melihat gambaran yang tadi kita bayangkan itu secara nyata.
Jadi, dengan benda kecil itu, kita
bisa terbantu merancang apa saja. Mungkin bisa rumah, alat bantu ... apa saja.
Tentu saja akan mempermudah pekerjaan sehari-hari kita.
Dengan benda itu pula, kita bisa
berkomunikasi di sosial media dengan gampang. Karena dengan adanya alat tadi,
halaman web yang sekarang kita buka melalui gadget, akan bisa langsung
tergambar di depan mata kita. Dan kita bisa mengoprasikannya hanya dengan
memikirkan. Awesome! Right?
Tapi sayangnya, aku bukanlah
peneliti, ilmuwan, ataupun ahli IT. Aku hanya manusia penuh dosa penghuni
kampus FIB Undip jurusan Sastra Indonesia yang bercita-cita menjadi penulis. Aku
hanya bisa membayangkan, tidak merealisasikan. Dan omong kosong diatas adalah
salah satu bentuk imajinasi atau gambaranku tentang teknologi masa depan (dengan
sedikit tambahan).
So, beberapa hal di atas adalah apa
yang ada di pikiranku ketika mendengar kata ‘teknologi’. Mohon maaf bila ada
tutur kata yang salah. Maklum... manusia adalah mesin-pembuat-dosa yang ulung.
Thank you very much... :*